05.35

Diuretika

DIURETIKA

Diuretika merupakan zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lain yang menstimulasi diuresis dengan mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini seperti zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume darah (dekstran) atau merintangi sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

Diuretika meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal hingga volume darah dan tekanan darah menurun. Di samping itu, diperkirakan berpengaru langsung terhadap dinding pembuluh, yakni penurunan kadar Na membuat dinding lebih kebal terhadap noradrenalin, hingga daya tahannya berkurang. Efek hipnotitensifnyya relatif ringan dan tidak meningkat dengan memperbesar dosis (sebagaimana halnya dengan reserpin) (Tjay & Rahardja, 2007).

Fungsi Ginjal

1. Memelihara kemurnian darah (mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah)

2. Meregulasi kadar garam dan cairan tubuh (pengaturan homeostatis; keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel serta volume total dan susunan cairan ekstrasel) (Timmo, 2009).

Proses Diuresis

Dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli (gumpalan kapiler), yang terletak di bagian luar ginjal (cortex), yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam-garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari penyaringan dan berisi banyak air serta elektrolit akan ditampung dalam wadah (kapsul Bowman) dan disalurkan ke pipa kecil. Disini terjadi penarikan kembali secara aktif air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh (glukosa, ion-Na+ dll). Zat ini dikembalikan ke darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli. Sedang ”ampas” yang tersisa dirombak melalui metabolisme protein (ureum) untuk sebagian diserap kembali. Akhirnnya, filtrat dari semua tubuli ditampung di ductus colligens (penampung) yang disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun sebagai urin Timmo, 2009).

Ultrafiltrat yang dihasilkan perhari sekitar 180 liter (dewasa) yang dipekatkan sampai hanya tersisa lebih kurang 1 liter air kemih. Sisanya, lebih dari 99% direabsorpsi dan dikembalikan pada darah. Dengan demikian, suatu obat yang cuma sedikit mengurangi reabsorpsi tubulerm misalnya dengan 1%, mampu melipatgandakan volume kemih (menjadi ca 2,6 liter) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

Mekanisme Kerja Diuretika

Kelompok Obat

Mekanisme

Inhibitor Karboanhidratase

Blokade karboanhidratase

Diuretika jerat Henle jenis Furosemid

Hambatan pada pembawa Na+/K+/2Cl-

Diuretika jerat Henle lainnya

Tidak diketahui dengan jelas

Tiazida

Tidak jelas

Antagonis Aldosteron

Hambatan kompetitif pada interaksi aldosteron-reseptor

Diuretika penyimpanan kalium jenis sikloamidin

Blokade saluran natrium pada membrane lumen, hambatan pada saluran kalium

(Mutschler, 1991).

Kebanyakan bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih dan juga air diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni:

1. Tubuli proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secera aktif untuk 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsopsi belangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhap plama. Diuretik osmosis bekerja di tubulus proksimal dengan merintangi rabsorpsi air dan natrium.

2. Lengkungan Henle. Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Cl- begitupula reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan K+ diperbanyak.

3. Tubuli distal. Dibagian pertmanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi lebi cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Pada bagian keduanya, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+ proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron dan zat-zat penghemat kalium bekerja di sini dengan mengekskresi Na+ dan retensi K+.

4. Saluran Pengumpul. Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini (Departemen Farmakologi da Terapeutik FK UI, 2007).

Penggolongan diuretika

1. Diuretika Lengkungan. Obat-obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6). Banyak digunakan dalam keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-paru. Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis dinaikkan efeknya senantiasa bertambah. Contoh obatnya adalah furosemida yang merupakan turunan sulfonamid dan dapat digunakan untuk obat hipertensi. Mekanisme kerjanya dengan menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari loop Henle (lengkungan Henle) dan tubulus distal, mempengaruhi sistem kontrasport Cl-binding, yang menyebabkan naiknya eksresi air, Na, Mg, dan Ca. Contoh obat paten: frusemide, lasix, impugan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

2. Derivat Thiazida. Efeknya lebih lemah dan lambat, juga lebih lama, terutama digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung. Memiliki kurva dosis-efek datar yaitu jika dosis optimal dinaikkan, efeknya (diuresis dan penurunan tekanan darah) tidak bertambah. Contoh obatnya adalah hidroklorthiazida adalah senyawa sulfamoyl dari turunan klorthiazida yang dikembangkan dari sulfonamid. Bekerja pada tubulus distal, efek diuretiknya lebih ringan daripada diuretika lengkungan tetapi lebih lama yaitu 6-12 jam. Banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk hipertensi ringan sampai sedang karenadaya hipitensifnya lebih kuat pada jangka panjang. Resorpsi di usus sampai 80% dengan waktu paruh 6-15 jam dan diekskresi lewat urin secara utuh. Contoh obat patennya adalah Lorinid, Moduretik, Dytenzide (Tjay & Rahardja, 2007).

3. Diuretika Penghemat Kalium. Efek obat-obat ini lemah dan khusus digunakan terkominasi dengan diuretika lainnya untuk menghemat kalium. Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat secara kompetitif oleh antagonis alosteron. Contoh obatnya adalah spironolakton yang merupakan pengambat aldosteron mempunyai struktur mirip dengan hormon alamiah. Kerjanya mulai setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberap hari setelah pengobatan dihentikan. Daya diuretisnya agak lemah sehingga dikombinasikan dengan diuretika lainnya. Efek dari kombinasi ini adalah adisi. Pada gagal jantung berat, spironolakton dapat mengurangi resiko kematian sampai 30%. Resorpsinya di usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan. Dalam hati, zat ini diubah menjadi metabolit aktifnya, kanrenon, yang diekskresikan melalui kemih dan tinja, dalam metabolit aktif waktu paruhnya menjadi lebih panjang yaitu 20 jam. Efek sampingnya pada penggunaan lama dan dosis tinggi akan mengakibatkan gangguan potensi dan libido pada pria dan gangguan haid pada wanita. Contoh obat paten: Aldacton, Letonal (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

4. Diuretika Osomosis. Obat-obat ini direabsorpsi sedikit oleh tubuli sehingga reabsorpsi air juga terbatas. Efeknya al diuresis osmotik dengan ekskresi air tinggi dan eksresi Na sedikit. Conto obatnya adalah Mannitol dan Sorbitol. Mannitol adalah alkohol gula yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan dan getahnya. Efek diuresisnya pesat tetapi singkat an dapat melintasi glomeruli secara lengkap, praktis tanpa reabsorpsi pada tubuli, sehingga penyerapan kembali air dapat dirintangi secara osmotik. Terutama digunakan sebagai infus untuk menurunkan tekanan intraokuler pada glaukoma. Contoh obat patennya adalah Manitol (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

5. Perintang Karbonanhidrase. Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli proksimal, sehingga disamping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih banyak, bersamaan dengan air. Khasiat diuretiknya lemah, setelah beberapa hari terjadi tachyfylaxie maka perlu digunakan secara berselang-seling. Asetozolamid diturunkan dari sulfanilamid. Efek diuresisnya berdasarkan penghalangan enzim karboanhidrase yang mengkatalis reaksi berikut:

CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3+

Akibat pengambatan itu di tubuli proksimal, maka tidak ada cukup ion H+ lagi untuk ditukarkan dengan Na sehingga terjadi peningkatan ekskresi Na, K, bikarbonat, dan air. Obat ini dapat digunakan sebagai obat antiepilepsi, bat ‘penyakit ketinggian’. Resorpsinya baik dan mulai bekerja dl 1-3 jam dan bertahan selama 10 jam. Waktu paruhnya dalam plasma adalah 3-6 jam dan diekskresikan lewat urin secara utuh. Obat patennya adalah Miamox (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

Penggunaan Diuretika

Diuretika digunakan pada semua keadaan di mana dikehendaki peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung.

1. Hipertensi

Guna mengurangi darah seluruhnya hingga tekanan darah (tensi) menurun. Derivat thiazida digunakan untuk indikasi ini. Diuretika lengkungan pada jangka panjang ternyata lebih ringan efek antihipertensifnya. Mekanisme kerjanya berdasarkan penurunan daya-tahan pembuluh perifer. Dosis yang diperlukan untuk efek antihipertensi adalah jauh lebih rendah daripada dosis diuretis. Thiazida memperkuat efek obat-obat hipertensi beta blocker dan ACE inhibitor, sehingga sering dikombinasikan dengannya (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

2. Gagal jantung (decompensatio cordis)

Cirinya adalah peredaran tak sempurna dan terdapat cairan berlebihan di jaringan, sehingga air tertimbun dan terjadi udema, misalnnya pada paru-paru. Begitu pula pada sindro nefrotis yang bercirikan udema tersebar akibat proteinuria hebat karena permeabilitas dipertinggi dari membran glomeruli. Pada busung perut dengan air tertumpuk di rongga perut akibat cirrosis hati. Untuk indikasi ini terutama digunakan diuretika lengkungan, dalam keadaan parah akut secara intravena. Thiazida dapat memperbaiki efeknya pada pasien dengan insufiensi ginjal. Thiazid juga digunakan dalam situasi di mana diuresis pesat bisa mengakibatkan kesulitan, seperti pada hipermetrofi prostat (Tjay & Rahardja, 2007).

Efek Samping

1. Hipokaliemia, yaitu kekurangan kalium dalam darah. Semua diuretika dengan tempat kerja di bagian muka tubuli distal memperbesar ekskresi ion K+ dan H+ karena ditukarkan dengan ion Na+. Akibatnya adalah kadar kalum plasma dapat turun di bawah 3,5 mml/liter. Keadaan ini terutama terjadi pada penanganan gagal jantung dengan dosis tinggi furosemida atau bumetamida, mungkin bersama thiazida. Gejalanya berupa kelemahan otot, kejang-kejang, obstipasi, anoreksia, kadang-kadang aritmia jantung. Pasien jantung dengan gangguan ritme atau yang diobati dengan digitalis harus dimonitor dengan seksama, karena kekurangan kalium dapat memperhebat keluhan dan meningkatkan toksisitas digoksin (Purwanto, 2008).

2. Hiperurikemia akibat retensi asam urat dapat terjadi pada semua diuretika, kecuali amirolida. Diduga disebabkan oleh adanya persaingan antara diuretikum dengan asam urat mengenai tranpornya di tubuli. Terutama klortalidon memberikan resiko lebih tinggi untuk retensi asam urat dan serangan encok pada pasien yang peka (Purwanto, 2008).

3. Hiperglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes, terutama pada dosis tinggi, akibat dikuranginya metabolisme glukosa berhubung sekresi insulin ditekan. Terutama thiazida dan efek antidiabetika oral diperlemah olehnya (Purwanto, 2008).

4. Hiperlipidemia ringan dapat terjadi dengan peningkatan kadar kolesterol total dan trigliserida. Pengecualian adalah indapamida yang praktis tdk meningkatnya kadar lipid tersebut (Purwanto, 2008).

5. Hiponatriema. Akibat diuresis yang terlalu pesat dan kuat oleh diuretika lengkungan, kadar Na plasma dapat menurun keras dengan akibat hiponatriema. Gejalanya berupa gelisah, kejang otot, haus letargi, dan kolaps (Purwanto, 2008).

6. Lain-lain: gangguan lambung-usus, rasa letih, nyeri kepala, pusing, dan jarang reaksi alergis kulit. Ototoksisitas dapat terjadi pada penggunaan furosemida/bumetemida dalam dosis tinggi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

Interaksi

Pada kombinasi diuretika jerat Henle dengan antibiotika aminoglikosida serta sefalotin, terjadi peningkatan nefrotoksisitas. Demikian juga resiko ototoksik akan meningkat jika diuretika jerat Henle diberikan bersama-sama dalam dosis tinggi dan segera setelah penggunaan antibiotika aminoglikosida. Analgetika/antireumatika yang bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin, menurunkan efek diuretika pada umumnya. Diuretika jerat Henle dan tiazida akan memperkuat kerja glikosida jantung dan relaksansia otot tipe kurare, karena ekskresi kalium akan diperbanyak. Glukokortikoid atau laksansia meninggikan bahaya hipokalemia jika diberikan bersama-sama dengan diuretika jerat Henle atau tiazida (Mutschler, 1991).

Kombinasi dari obat-obat lain bersama diuretika dapat menimbulkan interaksi yang tidak dikehendaki, seperti:

· Penghambat ACE, dapat menimbulkan hipotensi yang hebat, maka sebaiknya baru diberikan setelah penggunaan diuretikum dihentikan selama 3 hari.

· Obat-obat rema (NSAID’s) dapat agak memperlemah efek diuretis dan antihipertensif akibat retensi natrium dan airnya.

· Kortikosteroida dapat memperkuat kehilangan kalium.

· Aminoglikosida: ototoksisitas diperkuat berhubung diuretika sendiri dapat menyebabkan ketulian (reversibel).

· Antidiabetika oral dikurangi efeknya bila terjadi hiperglikemia.

· Litiumklorida dinaikkan kadar darahnya akibat terhambatnya ekskresi (Timmo, 2009).

.

Kehamilan & Laktasi

Thiazida dan diuretika lengkungan dapat mengakibatkan gangguan elektrolit di janin dan kelainan darah pada neonati. Diuretika hanya dapat digunakan pada fase terakhir kehamilan ataas indikasi ketat dan dengan dosis yang serendah-rendahnya. Spironolakton & amilorida dianggap aman digunakan oleh beberapa negara seperti Swedia. Furosemida, HCT dan Spironolakton mencapai susu ibu dan menghambat laktasi (Timmo, 2009).

Daftar Pustaka

Departemen Farmakologi da Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB.

Purwanto, W. E. Penggunaan Diuretik pada Hipertensi. http://yosefw.wordpress.com/ 2008/01/01/penggunaan-diuretik-pada-hipertensi/ [2 Desember 2009]

Timmo. 2009. Diuretika. http://blogkita.info/medics/diuretika/ [2 Desember 2009]

Tjay, T. H & Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Computindo.

0 comments: